Ringkasan Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia dan Dunia
Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia Dan Dunia
Hallo semuanya! Selamat Pagi di MeAyu Blog. Disini saya akan menyelesaikan PR (Pekerjaan Rumah) tentang Kasus Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia di Indonesia dan Dunia,. Lanjut Saja.
1. Tragedi Semanggi
Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap
pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil.
Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November
1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga
sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24
September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan sebelas orang
lainnya di seluruh jakarta serta menyebabkan 217 korban luka - luka.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang
dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa
membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun
saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan
mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu juga beberapa mahasiswa tertembak dan
meninggal seketika di jalan. Salah satunya adalah Teddy Wardhani Kusuma,
mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang merupakan korban meninggal pertama
di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung dan
merawat kawan-kawan seklaligus masyarakat yang terluka. Semakin banyak korban berjatuhan baik yang
meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang
ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata.
Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai
17 orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru
Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil
Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono,
Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan
berjumlah 17 orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai
Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat
keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam
Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban mengalami
luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras,
tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat
keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia,
termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena peluru
nyasar di kepala.
Pada 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak
kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa.
2. Kasus Marsinah
Marsinah (10 April 1969?–Mei 1993) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT.
Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian
ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari.
Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong Kecamatan Wilangan Nganjuk, dengan
tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah,
Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono
(Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah
tewas akibat penganiayaan berat.
Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama. Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713.
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".
3. Kasus Munir
Munir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 – meninggal di
Jakarta jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 38 tahun) adalah pria
keturunan Arab yang juga seorang aktivis HAM Indonesia. Jabatan terakhirnya
adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia
Imparsial.
Saat menjabat Koordinator Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang
bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu.
Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin melaporkan
kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk
di kursi nomor 40 G menderita sakit. Munir bolak balik ke toilet. Pilot meminta
awak kabin untuk terus memonitor kondisi Munir. Munir pun dipindahkan duduk di
sebelah seorang penumpang yang kebetulan berprofesi dokter yang juga berusaha
menolongnya. Penerbangan menuju Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam
sebelum mendarat 7 September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di bandara
Schipol Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.
Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.
Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir
Salah satu contoh nyata dari pelanggaran hak asasi manusia di Amerika
Serikat adalah kondisin penjara di negara itu yang tidak layak bahkan
menyedihkan. Sebagai negara yang ikut menandatangani piagam dunia
terkait hak asasi manusia dan perjanjian-perjanjian internasional
lainnya, pemerintah AS berkewajiban untuk menciptakan suasana yang
kondusif bagi sel-sel tahanan dan penjara. Namun, meski menempati urutan
tertinggi di dunia dalam hal jumlah tahanan, AS tidak melaksanakan
kewajibannya untuk memenuhi hak-hak para tahanan dengan baik. Dari tahun
1980 jumlah tahanan di penjara-penjara AS meningkat berkali lipat dari
500 ribu orang menjadi dua juta 300 ribu orang. Angka yang fantastis ini
adalah yang tertinggi di dunia. Menurut catatan resmi, dari seratus
orang di AS, satu orang mendekam di penjara. Data lainnya menyebutnya,
dari 28 ayah anak-anak di AS, satu orang menjalani kehidupannya di dalam
sel tahanan.
Tanggal 19 Januari 2010, departemen kehakiman AS merilis statemen yang dimuat di situs Menez News Daily yang mengungkapkan bahwa jumlah penjara yang ada tidak mampu menampung seluruh tahanan yang berjumlah lebih dari dua juta orang. Dalam sebuah laporan resmi disebutkan bahwa antara tahun 2000 hingga 2008, jumlah tahanan yang mendekam di penjara AS setiap tahunnya meningkat 1,8 persen.
Kondisi seperti yang dijelaskan tadi dan jumlah tahanan yang besar, tentunya menimbulkan masalah yang serius bagi penanganan para terhukum. Dengan alasan itu, di beberapa negara bagian, pemerintah terpaksa menahan sebagian terhukum di luar penjara atau di rumah-rumah tahanan non permanen. Terkadang, pemerintah juga menempuh cara dan mengambul kebijakan yang lain. Misalnya, Gubernur California beberapa waktu lalu memutuskan untuk memulangkan imigran-imigran gelap ke Meksiko yang sudah ditangkap demi mengurangi jumlah tahanan.
Seiring dengan itu, berbagai laporan membongkar adanya praktik penyiksaan, pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap para tahanan yang dilakukan oleh para sipir penjara. Setiap tahunnya tujuh ribu orang dilaporkan meninggal dunia di dalam penjara, yang sebagian besarnya adalah kasus pembunuhan dan bunuh diri. Sebagai contoh, setiap hari sipir penjara menggunakan alat sengat listrik terhadap para tahanan. Sejak tahun 2001 sampai saat ini, sekitar 230 warga AS tewas di penjara karena senjata itu. Sementara, Lembaga Amnesti Internasional tahun 2008 melaporkan bahwa petugas penjara di AS biasa menggunakan senjata penyengat listrik untuk mengntrol para tahanan. Semua yang disebutkan itu menunjukkan besarnya pelanggaran HAM yang terjadi di penjara-penjara AS. Tanggal 7 April 2009, Washington Post memuat laporan yang menyatakan bahwa pelecehan seksual dan perkosaan adalah kasus pelanggaran HAM yang paling besar di penjara AS.
Tanggal 19 Januari 2010, departemen kehakiman AS merilis statemen yang dimuat di situs Menez News Daily yang mengungkapkan bahwa jumlah penjara yang ada tidak mampu menampung seluruh tahanan yang berjumlah lebih dari dua juta orang. Dalam sebuah laporan resmi disebutkan bahwa antara tahun 2000 hingga 2008, jumlah tahanan yang mendekam di penjara AS setiap tahunnya meningkat 1,8 persen.
Kondisi seperti yang dijelaskan tadi dan jumlah tahanan yang besar, tentunya menimbulkan masalah yang serius bagi penanganan para terhukum. Dengan alasan itu, di beberapa negara bagian, pemerintah terpaksa menahan sebagian terhukum di luar penjara atau di rumah-rumah tahanan non permanen. Terkadang, pemerintah juga menempuh cara dan mengambul kebijakan yang lain. Misalnya, Gubernur California beberapa waktu lalu memutuskan untuk memulangkan imigran-imigran gelap ke Meksiko yang sudah ditangkap demi mengurangi jumlah tahanan.
Seiring dengan itu, berbagai laporan membongkar adanya praktik penyiksaan, pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap para tahanan yang dilakukan oleh para sipir penjara. Setiap tahunnya tujuh ribu orang dilaporkan meninggal dunia di dalam penjara, yang sebagian besarnya adalah kasus pembunuhan dan bunuh diri. Sebagai contoh, setiap hari sipir penjara menggunakan alat sengat listrik terhadap para tahanan. Sejak tahun 2001 sampai saat ini, sekitar 230 warga AS tewas di penjara karena senjata itu. Sementara, Lembaga Amnesti Internasional tahun 2008 melaporkan bahwa petugas penjara di AS biasa menggunakan senjata penyengat listrik untuk mengntrol para tahanan. Semua yang disebutkan itu menunjukkan besarnya pelanggaran HAM yang terjadi di penjara-penjara AS. Tanggal 7 April 2009, Washington Post memuat laporan yang menyatakan bahwa pelecehan seksual dan perkosaan adalah kasus pelanggaran HAM yang paling besar di penjara AS.
Lembaga pemantau hak asasi manusia internasional (Human Right
Watch) mempublikasikan laporannya di laman hrw.org terkait pengusiran dengan
pembantaian di kamp Raba al Adawiya dan Lapangan Nahda di Kairo, Mesir.
Lembaga tersebut pun mengungkapkan, pembantaian itu merupakan
pembunuhan terburuk dalam sejarah moderen sebuah negara. Pasukan keamanan Mesir
menggunakan kekuatan mematikan untuk mengusir aksi duduk pada 14 Agustus 2013.
Investigasi HRW melaporkan, keputusan untuk menggunakan senjata
peluru tajam dengan skala besar sejak awal menunjukkan gagalnya penerapan
kebijakan yang berdasarkan pengawasan internasional saat memutuskan untuk menggunakan
kekuatan mematikan.
Padahal, tidak ada alasan berarti tentang adanya gangguan dari
para pengunjukrasa atau gangguan dari penggunaan senjata terbatas dari
demonstran.
Kegagalan dari pemerintah untuk membuka 'pintu keluar' bagi
keselamatan peserta aksi duduk, termasuk pengunjukrasa yang cedera akibat
tembakan dan membutuhkan perawatan medis adalah kekerasan serius dalam standar
internasional.
Jumlah korban tewas saat aksi duduk di Raba Al Adawiya melonjak
dengan cepat dari 288 versi kementerian kesehatan bentukan militer, menjadi 377
korban tewas.
Tiga hari setelahnya, terjadi bentrokan antara pasukan keamanan
dan demonstran dari Ikhwanul Muslimin, juga pengunjukrasa anti Ikhwanul
Muslimin. Terdapat 173 korban tewas pada 18 Agustus, menurut data dari
Kementerian Kesehatan.
***** Semoga Bermanfaat *****
Sumber : Paket Kemendikbud SMA/MA SMK/MAK kelas X
nice gan artikelnya
ReplyDelete